Biografi Nurcholish Madjid - Cendekiawan Muslim
Biografi Nurcholish Madjid - yang populer dipanggil Cak Nur itu 
merupakan ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Ia 
cendekiawan muslim milik bangsa. Gagasan tentang pluralisme telah 
menempatkannya sebagai intelektual muslim terdepan. Terlebih di saat 
Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan ancaman 
disintegrasi bangsa. Namanya semat mencuat sebagai kandidat terkuat 
calon presiden Pemilu 2004.
Namun keputusannya sebagai Capres independen yang terlalu dini menyatakan bersedia mengikuti Konvensi Calon Presiden Partai Golkar, dan kemudian mengundurkan diri, telah memerosotkan peluangnya meraih kursi RI-1 itu. Sebelumnya, cukup banyak partai yang ingin melamarnya menjadi Capres. Namun selepas kesediaannya mengikuti konvensi Golkar itu, lamaran itu menjadi surut. Ia tampaknya tersendat cukup sebagai Capres pengeras suara, seperti pernah dikemukakannya.
Namun keputusannya sebagai Capres independen yang terlalu dini menyatakan bersedia mengikuti Konvensi Calon Presiden Partai Golkar, dan kemudian mengundurkan diri, telah memerosotkan peluangnya meraih kursi RI-1 itu. Sebelumnya, cukup banyak partai yang ingin melamarnya menjadi Capres. Namun selepas kesediaannya mengikuti konvensi Golkar itu, lamaran itu menjadi surut. Ia tampaknya tersendat cukup sebagai Capres pengeras suara, seperti pernah dikemukakannya.
Cak Nur lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di 
Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret 1939. Ayahnya, KH Abdul 
Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati pendidikan 
di berbagai pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, menempuh studi 
kesarjanaan IAIN Jakarta (1961-1968), tokoh HMI ini menjalani studi 
doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984), dengan 
disertasi tentang filsafat dan khalam Ibnu Taimiya.
Nurcholish Madjid kecil semula bercita-cita menjadi masinis kereta api. Namun, setelah dewasa malah menjadi kandidat masinis dalam bentuk lain, menjadi pengemudi lokomotif yang membawa gerbong bangsa.
Sebenarnya menjadi masinis lokomotif politik adalah pilihan yang lebih masuk akal. Nurcholish muda hidup di tengah keluarga yang lebih kental membicarakan soal politik ketimbang mesin uap. Keluarganya berasal dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) dan ayahnya, Kiai Haji Abdul Madjid, adalah salah seorang pemimpin partai politik Masyumi. Saat terjadi “geger” politik NU keluar dari Masyumi dan membentuk partai sendiri, ayahnya tetap bertahan di Masyumi.
Kesadaran politik Nurcholish muda terpicu oleh kegiatan orang tuanya yang sangat aktif dalam urusan pemilu.
Politik praktis mulai dikenalnya saat menjadi mahasiswa. Ia terpilih sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Ciputat, tempat Nurcholish menimba ilmu di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam Institut Agama Islam Negeri Syarief Hidayatullah, Jakarta. Pengalamannya bertambah saat menjadi salah satu calon Ketua Umum Pengurus Besar HMI.
Kendati memimpin organisasi mahasiswa ekstrakurikuler yang disegani pada awal zaman Orde Baru, Nurcholish tidak menonjol di lapangan sebagai demonstran. Bahkan namanya juga tidak berkibar di lingkungan politik sebagai pengurus Komite Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), kumpulan mahasiswa yang dianggap berperan menumbangkan Presiden Sukarno dan mendudukkan Mayor Jenderal Soeharto sebagai penggantinya. Prestasi Cak Nur lebih terukir di pentas pemikiran. Terutama pendapatnya tentang soal demokrasi, pluralisme, humanisme, dan keyakinannya untuk memandang modernisasi atau modernisme bukan sebagai Barat, modernisme bukan westernisme. Modernisme dilihat Cak Nur sebagai gejala global, seperti halnya demokrasi.
Pemikirannya tersebar melalui berbagai tulisan yang dimuat secara berkala di tabloid Mimbar Demokrasi, yang diterbitkan HMI. Gagasan Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara ini memukau banyak orang, hingga ia digelari oleh orang-orang Masyumi sebagai “Natsir muda”.
Pemikirannya yang paling menggegerkan khalayak, terutama para aktivis gerakan Islam, adalah saat pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta ini melontarkan pernyataan “Islam yes, partai Islam no”. Ia ketika itu menganggap partai-partai Islam sudah menjadi “Tuhan” baru bagi orang-orang Islam.
Partai atau organisasi Islam dianggap sakral dan orang Islam yang tak memilih partai Islam dalam pemilu dituding melakukan dosa besar. Bahkan, bagi kalangan NU, haram memilih Partai Masyumi. Padahal orang Islam tersebar di mana-mana, termasuk di partai milik penguasa Orde Baru, Golkar. Pada waktu itu sedang tumbuh obsesi persatuan Islam. Kalau tidak bersatu, Islam menjadi lemah. Cak Nur menawarkan tradisi baru bahwa dalam semangat demokrasi tidak harus bersatu dalam organisasi karena keyakinan, tetapi dalam konteks yang lebih luas, yaitu kebangsaan.
Nurcholish Madjid kecil semula bercita-cita menjadi masinis kereta api. Namun, setelah dewasa malah menjadi kandidat masinis dalam bentuk lain, menjadi pengemudi lokomotif yang membawa gerbong bangsa.
Sebenarnya menjadi masinis lokomotif politik adalah pilihan yang lebih masuk akal. Nurcholish muda hidup di tengah keluarga yang lebih kental membicarakan soal politik ketimbang mesin uap. Keluarganya berasal dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) dan ayahnya, Kiai Haji Abdul Madjid, adalah salah seorang pemimpin partai politik Masyumi. Saat terjadi “geger” politik NU keluar dari Masyumi dan membentuk partai sendiri, ayahnya tetap bertahan di Masyumi.
Kesadaran politik Nurcholish muda terpicu oleh kegiatan orang tuanya yang sangat aktif dalam urusan pemilu.
Politik praktis mulai dikenalnya saat menjadi mahasiswa. Ia terpilih sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Ciputat, tempat Nurcholish menimba ilmu di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam Institut Agama Islam Negeri Syarief Hidayatullah, Jakarta. Pengalamannya bertambah saat menjadi salah satu calon Ketua Umum Pengurus Besar HMI.
Kendati memimpin organisasi mahasiswa ekstrakurikuler yang disegani pada awal zaman Orde Baru, Nurcholish tidak menonjol di lapangan sebagai demonstran. Bahkan namanya juga tidak berkibar di lingkungan politik sebagai pengurus Komite Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), kumpulan mahasiswa yang dianggap berperan menumbangkan Presiden Sukarno dan mendudukkan Mayor Jenderal Soeharto sebagai penggantinya. Prestasi Cak Nur lebih terukir di pentas pemikiran. Terutama pendapatnya tentang soal demokrasi, pluralisme, humanisme, dan keyakinannya untuk memandang modernisasi atau modernisme bukan sebagai Barat, modernisme bukan westernisme. Modernisme dilihat Cak Nur sebagai gejala global, seperti halnya demokrasi.
Pemikirannya tersebar melalui berbagai tulisan yang dimuat secara berkala di tabloid Mimbar Demokrasi, yang diterbitkan HMI. Gagasan Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara ini memukau banyak orang, hingga ia digelari oleh orang-orang Masyumi sebagai “Natsir muda”.
Pemikirannya yang paling menggegerkan khalayak, terutama para aktivis gerakan Islam, adalah saat pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta ini melontarkan pernyataan “Islam yes, partai Islam no”. Ia ketika itu menganggap partai-partai Islam sudah menjadi “Tuhan” baru bagi orang-orang Islam.
Partai atau organisasi Islam dianggap sakral dan orang Islam yang tak memilih partai Islam dalam pemilu dituding melakukan dosa besar. Bahkan, bagi kalangan NU, haram memilih Partai Masyumi. Padahal orang Islam tersebar di mana-mana, termasuk di partai milik penguasa Orde Baru, Golkar. Pada waktu itu sedang tumbuh obsesi persatuan Islam. Kalau tidak bersatu, Islam menjadi lemah. Cak Nur menawarkan tradisi baru bahwa dalam semangat demokrasi tidak harus bersatu dalam organisasi karena keyakinan, tetapi dalam konteks yang lebih luas, yaitu kebangsaan.
Ide pembaharuan Islam
Cak Nur merupakan ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Gagasannya tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual Muslim terdepan, terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa.
Sebagai tokoh pembaharu dan cendikiawan Muslim Indonesia, seperti halnya K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Nurholish Madjid sering mengutarakan gagasan-gagasan yang dianggap kontroversial terutama gagasan mengenai pembaharuan Islam di Indonesia. Pemikirannya diaggap sebagai sumber pluralisme dan keterbukaan mengenai ajaran Islam terutama setelah berkiprah dalam Yayasan Paramadina dalam mengembangkan ajaran Islam yang moderat.
Reformasi 1998
Namun demikian, ia juga berjasa ketika bangsa Indonesia mengalami krisis
 kepemimpinan pada tahun 1998. Ialah yang sering diminta nasihat oleh 
Presiden Soeharto terutama dalam mengatasi gejolak pasca kerusuhan Mei 
1998 di Jakarta setelah Indonesia dilanda krisis hebat yang merupakan 
imbas krisis 1997. Atas saran beliau, akhirnya Presiden Soeharto 
mengundurkan diri dari jabatannya untuk menghindari gejolak yang lebih 
parah.
Kontroversi
Ide dan Gagasan Cak Nur tentang sekularisasi dan pluralisme tidak 
sepenuhnya diterima dengan baik di kalangan masyarakat Islam Indonesia. 
Terutama di kalangan masyarakat Islam yang menganut paham tekstualis 
literalis pada sumber ajaran Islam. Mereka menganggap bahwa paham Cak 
Nur dan Paramadinanya telah menyimpang dari teks-teks Al-Quran dan 
Al-Sunnah. Gagasan yang paling kontroversial adalah ketika Cak Nur 
menyatakan "Islam Yes, Partai No?", sementara dalam waktu yang bersamaan
 sebagian masyarakat Islam sedang gandrung untuk berjuang mendirikan 
kembali partai-partai yang berlabelkan Islam. Konsistensi gagasan ini 
tidak pernah berubah ketika setelah terjadi reformasi dan terbukanya 
kran untuk membentuk partai yang berlabelkan agama.
Meninggal
Cak Nur meninggal dunia pada 29 Agustus 2005 akibat penyakit sirosis 
hati yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata 
meskipun merupakan warga sipil karena dianggap telah banyak berjasa 
kepada negara.
Pendidikan
    Pesantren Darul ‘ulum Rejoso, Jombang, Jawa Timur, 1955
Pesantren Darul Salam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur 1960
Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1965 (BA, Sastra Arab)
Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1968 (Doktorandus, Sastra
Pesantren Darul Salam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur 1960
Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1965 (BA, Sastra Arab)
Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1968 (Doktorandus, Sastra
Referensi:
1. http://info-biografi.blogspot.com/2010/02/dr-nurcholis-madjid.html
2. http://id.wikipedia.org/wiki/Nurcholish_Madjid 
 

 
 Posts
Posts
 
 
No comments:
Post a Comment
terima kasih atas kunjungannya bapak/ibu/om/tante/saudara/i sekalian, budayakan berkomentar yang baik.