Biografi Hoegeng - Polisi Paling Jujur Di Indonesia

Thursday, 7 November 2013


Biografi Hoegeng - Polisi Paling Jujur Di Indonesia

Biografi Hoegeng - Beliau lahir pada 14 Oktober 1921 di Kota Pekalongan.Ia memang seorang pejabat (polisi) yang senantiasa hidup jujur dan bersahaja. Semasa menjabat Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri), dia pernah membongkar kasus penyelundupan mobil mewah. Dia seorang yang jujur dan konsisten dalam melakukan kewajibannya sebagai polisi (kapolri). Namun ironisnya, akibat kejujuran dan keteguhannya melaksanakan tugas, dia malah diberhentikan oleh Presiden Soeharto dari jabatan Kapolri sebelum selesai masa jabatan yang seharusnya tiga tahun. Penasaran dengan kisah Polisi paling jujur di Indonesia ini? Berikut Biografi Lengkap Hoegeng

Di tengah terjadinya krisis kepercayaan kepada Polri dan birokrasi, ia tampil sebagai seorang yang pantas dipercaya. Sampai-sampai ada guyonan di masyarakat bahwa hanya ada dua polisi yang tidak bisa disuap, yaitu Hoegeng dan polisi tidur.

Ia memang seorang pejabat (polisi) yang senantiasa hidup jujur dan bersahaja. Ia pantas diteladani. Ia simbol kejujuran dan keteladanan bukan hanya bagi kepolisian dan seluruh jajaran birokrasi, tetapi juga bagi segenap lapisan masyarakat.

Semasa menjabat Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri), dia pernah membongkar kasus penyelundupan mobil mewah. Dia pula orang pertama mencetuskan dan menganjurkan memakai helm bagi pengendara sepeda motor, serta menganjurkan kaki mengangkang bagi pembonceng sepeda motor. Ketika itu, dia banyak mendapat kritik. Walau kemudian, setelah ia pensiun, anjurannya berbuah dimana pengendara sepeda motor menjadi sadar betapa pentingnya memakai helm.

Dia seorang yang jujur dan konsisten dalam melakukan kewajibannya sebagai polisi (kapolri). Namun ironisnya, akibat kejujuran dan keteguhannya melaksanakan tugas, dia malah diberhentikan oleh Presiden Soeharto dari jabatan Kapolri sebelum selesai masa jabatan yang seharusnya tiga tahun.

Bermula dari rencananya untuk menangkap seorang penyelundup besar, yang buktinya di Mabes Polri sudah cukup untuk ditahan. Namun karena si penyelundup itu disebut-sebut dekat dengan Cendana, maka ia ingin lebih dahulu melaporkan penangkapan tersebut kepada Presiden Soeharto. Lalu, ketika sampai di Cendana, ia kaget karena si penyeludup itu tengah berbincang- bincang dengan Soeharto. Sejak saat itu, ia sangat sulit mempercayai Presiden Soeharto.
Dia merasa, hal itulah yang mempercepat pemberhentiannya sebagai Kapolri. Walaupun alasan yang dikemukakan oleh Soeharto adalah untuk regenerasi. Alasan yang dibuat-buat. Sebab ketika dia menanyakan siapa penggantinya, Soeharto menyebut Mohammad Hassan, yang ternyata berusia lebih tua darinya.

Dia seorang polisi yang jujur dan bersih dari korupsi. Terbukti, memasuki masa pensiun, ia tidak punya simpanan apa pun. Untunglah para kerabatnya menghadiahinya rumah dan mobil, tanpa diminta. Saat memasuki pensiun itu, ia pun ditawari menjadi duta besar di Belgia, namun ditolak karena merasa tidak cocok, dan lebih suka tinggal di negeri sendiri.

Lalu, ia pun menghabiskan hari-harinya dengan melukis dan bermain musik. Dia memang menyukai musik irama Lautan Teduh sejak muda. Maka setelah pensiun dia bersama istri dan rekan- rekannya mendirikan grup musik The Hawaiian Senior, 1975. Mereka sering tampil di layar TVRI dalam acara Gema Irama Lautan Teduh. Acara itu kemudian dilarang pemerintah sebab dianggap bukan musik Indonesia.

Namun banyak orang beranggapan alasan sesungguhnya pelarangan itu adalah karena sejak Juni 1978, Hoegeng bergabung dalam Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB) yang didirikan atas inisiatif AH Nasution dan Proklamator Proklamator, Wakil Presiden Mohammad Hatta sebagai penasihat. LKB itu bertujuan melakukan pengawasan dan koreksi terhadap penyelenggaraan negara dan kekuasaan pemerintahan secara konstitusional.

Ia pun terpaksa meninggalkan hobi menyanyi itu. Kemudian sejak Mei 1980, ia bergabung dalam kelompok lima puluh warga negara RI, antara lain Mohammad Natsir, AH Nasution, Syafruddin Prawiranegara, H Ali Sadikin, Burhanuddin Harahap, SK Trimurti, Manai Sophian, Ny D Wallandouw, yang menandatangani "Pernyataan Keprihatinan" terhadap cara penyelenggaraan negara dan kekuasaan pemerintahan Soeharto, yang kemudian populer disebut "Petisi 50".

Mantan Lihat Daftar Menteri
Menteri Iuran Negara (1966-1967), itu tak hanya ikut menandatangani, tetapi terlibat aktif dalam Kelompok Kerja Petisi 50, yaitu suatu lembaga kajian tentang masalah kehidupan bangsa dan negara yang didirikan Yayasan LKB. Dia rajin menghadiri pertemuan mingguan yang berlangsung di kediaman Ali Sadikin, di Jalan Borobudur 2, Jakarta Pusat.

Orang yang sangat disiplin soal waktu ini lulus HIS di Pekalongan 1934, MULO di Pekalongan 1937, dan AMS (setingkat SMA) Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978)
Yogyakarta 1940. Dia sempat kuliah di RHS (Recht Hoge School - Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia (Jakarta) 1942, namun tidak sempat selesai karena Jepang mnyerbu Hindia Belanda dan memaksanya pulang ke Pekalongan.

Di kota kelahirannya itu ia mengecap pendidikan polisi Leeterling Hoofdagent Van Politie (Pendidikan Ajun Inspektur Polisi) tahun1943. Kemudian mengikuti pendidikan Koto Keitsatsu Gakko (Sekolah Tinggi Polisi) di Sukabumi (1944), Provost Marshall General School, AS (1950), PTIK (1952) dan Pendidikan Brimob, Porong (1959).

Dia memulai karier sebagai agen polisi. Kemudian ia menjabat Kapolsek Jomblang, Semarang (1945), Kepala DPKN, Surabaya (1952-1955), dan Kepala Reskrim Raja Pejuang Batak melawan Kolonialis Belanda
Sumatera Utara, Medan (1955-1959).

Lalu sempat menjabat Kepala Jawatan Imigrasi (1960-1965). Kemudian, diangkat Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966)
Presiden Soekarno menjabat Lihat Daftar Menteri
Menteri Iuran Negara (1966-1967) dalam kabinet yang disebut Kabinet Seratus Lihat Daftar Menteri
Menteri. Kemudian diangkat sebagai Deputi Operasi Menteri Muda Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak) tahun1967-1968. Dalam buku "Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan", karya Abrar Yusra dan Ramadhan KH, terbitan Pustaka Sinar Harapan 1993, disebutkan, pengangkatan menteri itu adalah atas usulan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Pada 1 Mei 1968, pangkatnya naik sebagai Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi atau bintang tiga, dan dua minggu berikutnya (15 Mei 1968) dilantik oleh Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966)
Presiden Soekarno menjadi Panglima Angkatan Kepolisian RI (jabatan Kapolri saat ini) dengan Inspektur Upacara Jenderal Soeharto.Dia menjabat Kapolri tahun 1968-1971.

Ada kisah menarik ketika Proklamator, Presiden Soekarno mengkaryakannya menjadi Kepala Jawatan Imigrasi. Sehari sebelum pelantikan, ia meminta isterinya, Merry (Marie Roselina), untuk menutup toko kembang isterinya itu di Jalan Cikini. Alasannya, karena ia akan dilantik menjadi Kepala Jawatan Imigrasi.

"Apa hubungan dengan toko kembang?" tanya isterinya.

"Nanti semua orang yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang Ibu Merry dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya," jelas Hoegeng. Isterinya pun memahami dan menutup toko kembangnya.

Saat dikaryakan dari kepolisian ke Imigrasi itu, ia pun menolak diberi mobil dinas baru karena mobil jip dinas kepolisian yang dipakainya yang juga milik negara dirasa sudah cukup baginya.

Begitu juga ketika menjabat Menteri Iuran Negara. Ia diminta pindah dari rumah pribadi di Jalan Prof Moh Yamin ke rumah dinas yang lebih besar. Permintaan pindah rumah itu ditolak dengan alasan rumah yang ditempatinya sudah cukup representatif sehingga negara tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuknya. Menurutnya, sebagai Menteri Iuran Negara dia bertugas mencari uang untuk negara, bukan sebaliknya, menghabiskan uang negara untuk rumah dan fasilitas yang bukan-bukan.

Dia telah menerima banyak tanda jasa, antara lain, Bintang (BT) Gerilya, BT Dharma, BT Bhayangkara, BT Kartika Eka Paksi Tingkat I, BT Jasasena, Swa Buawa, Panglima Setya Kota, Sapta Marga, Prasetya Pancawarsa, Satya Dasawarasa, Yana Utama, Penegak dan Ksatria Tamtama. Ia juga dianugerahi LBH Award, saat Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu memperingati HUT 32 tahun.

Perihal asal-usul namanya, Hoegeng. Semasa kecil, ia biasa dipanggil 'Bugel' karena badannya tambun. Kemudian menjadi 'Bugeng' dan akhirnya menjadi Hoegeng sampai akhir hayatnya. Ayahnya, Sukarjo Karjohatmojo, seorang hoofd Jaksa, yang memeiliki rasa sosial dan kemanusiaan yang tinggi. Sang Ayah sengaja mendirikan rumah untuk orang-orang miskin dan telantar. Hoegeng kecil sering diajak ayahnya ke rumah penampungan orang terlantar itu. Saat itu, Sang Ayah membisikkan, ''Kelak, bila kau jadi orang berpangkat dan berkuasa, ingatlah: kekuasaan itu laksana pedang bermata dua.''

Pria yang menikahi Marie Roselina, dikaruniai tiga anak yakni Reni Soeryanti, Aditya Soetanto dan Sri Pamujining Rahayu, ini setelah pensiun, selain melukis, ia tercatat sebagai anggota ORARI. Ia juga seorang tokoh yang dalam keadaan sulit berada di depan untuk menegakkan demokrasi dan kejujuran. Saat banyak tokoh masih manggut-manggut kepada kekuasaan otoriter, ia maju ke depan menyuarakan demokrasi dan kebenaran. Sampai akhir hayatnya, ia tetap teguh pada prinsip dan menjadi teladan bagi semua anak bangsa, khususnya bagi Kepolisian Republik Indonesia
sejak 13 Mei 2004, dia dirawat intensif di RS Polri Kramat Jati, Jakarta akibat mengalami stroke, penyumbatan saluran pembuluh jantung dan pendarahan bagian lambung. Jenazahnya disemayamkan di rumah duka, Kompleks Pesona Kahyangan, Jl Margonda Raya Blok DH-I Pancoran Mas, Depok.

Kemudian dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Giritama, Desa Tonjo, Bojong Gede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu siang 14 Juli 2004. Menurut Aditya Soetanto, putera keduanya, "Ayah meminta dimakamkan di TPu bukan di Taman Makam pahlawan." Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar dan pimpinan Polri lainnya turut menghadiri acara pemakaman.
Berikut Enam Kisah Pak Hoegeng yang menyentuh hati.

1. Larang istri buka toko bunga

Sebagai perwira, Hoegeng hidup pas-pasan. Untuk itulah istri Hoegeng, Merry Roeslani membuka toko bunga. Toko bunga itu cukup laris dan terus berkembang.

Tapi sehari sebelum Hoegeng akan dilantik menjadi Kepala Jawatan Imigrasi (kini jabatan ini disebut dirjen imigrasi) tahun 1960, Hoegeng meminta Merry menutup toko bunga tersebut. Tentu saja hal ini menjadi pertanyaan istrinya. Apa hubungannya dilantik menjadi kepala jawatan imigrasi dengan menutup toko bunga.

“Nanti semua orang yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang ibu, dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya,” jelas Hoegeng.

Istri Hoegeng yang selalu mendukung suaminya untuk hidup jujur dan bersih memahami maksud permintaan Hoegeng. Dia rela menutup toko bunga yang sudah maju dan besar itu.

“Bapak tak ingin orang-orang beli bunga di toko itu karena jabatan bapak,” kata Merry.

2. Tolak rayuan pengusaha cantik

Kapolri Hoegeng Imam Santosa pun pernah merasakan godaan suap. Dia pernah dirayu seorang pengusaha cantik keturunan Makassar-Tionghoa yang terlibat kasus penyelundupan. Wanita itu meminta Hoegeng agar kasus yang dihadapinya tak dilanjutkan ke pengadilan.

Seperti diketahui, Hoegeng sangat gencar memerangi penyelundupan. Dia tidak peduli siapa beking penyelundup tersebut, semua pasti disikatnya.

Wanita ini pun berusaha mengajak damai Hoegeng. Berbagai hadiah mewah dikirim ke alamat Hoegeng. Tentu saja Hoegeng menolak mentah-mentah. Hadiah ini langsung dikembalikan oleh Hoegeng. Tapi si wanita tak putus asa. Dia terus mendekati Hoegeng.

Yang membuat Hoegeng heran, malah koleganya di kepolisian dan kejaksaan yang memintanya untuk melepaskan wanita itu. Hoegeng menjadi heran, kenapa begitu banyak pejabat yang mau menolong pengusaha wanita tersebut. Belakangan Hoegeng mendapat kabar, wanita itu tidak segan-segan tidur dengan pejabat demi memuluskan aksi penyelundupannya.

Hoegeng pun hanya bisa mengelus dada prihatin menyaksikan tingkah polah koleganya yang terbuai uang dan rayuan wanita.

3. Mengatur lalu lintas di perempatan

Teladan Jenderal Hoegeng bukan hanya soal kejujuran dan antikorupsi. Hoegeng juga sangat peduli pada masyarakat dan anak buahnya. Saat sudah menjadi Kapolri dengan pangkat jenderal berbintang empat, Hoegeng masih turun tangan mengatur lalu lintas di perempatan.

Hoegeng berpendapat seorang polisi adalah pelayan masyarakat. Dari mulai pangkat terendah sampai tertinggi, tugasnya adalah mengayomi masyarakat. Dalam posisi sosial demikian, maka seorang agen polisi sama saja dengan seorang jenderal.

“Karena prinsip itulah, Hoegeng tidak pernah merasa malu, turun tangan sendiri mengambil alih tugas teknis seorang anggota polisi yang kebetulan sedang tidak ada atau tidak di tempat.

Jika terjadi kemacetan di sebuah perempatan yang sibuk, dengan baju dinas Kapolri, Hoegeng akan menjalankan tugas seorang polantas di jalan raya. Itu dilakukan Hoegeng dengan ikhlas seraya memberi contoh kepada anggota polisi yang lain tentang motivasi dan kecintaan pada profesi.”

Demikian ditulis dalam buku Hoegeng-Oase menyejukkan di tengah perilaku koruptif para pemimpin bangsa- terbitan Bentang.

Hoegeng selalu tiba di Mabes Polri sebelum pukul 07.00 WIB. Sebelum sampai di kantor, dia memilih rute yang berbeda dan berputar dahulu dari rumahnya di Menteng, Jakarta Pusat. Maksudnya untuk memantau situasi lalu lintas dan kesiapsiagaan aparat kepolisian di jalan.

Saat suasana ramai, seperti malam tahun baru, Natal atau Lebaran, Hoegeng juga selalu terjun langsung mengecek kesiapan aparat di lapangan. Dia memastikan kehadiran para petugas polisi adalah untuk memberi rasa aman, bukan menimbulkan rasa takut. Polisi jangan sampai jadi momok untuk masyarakat.

4. Berantas semua beking kejahatan

Banyak aparat hukum malah menjadi beking tempat maksiat, perjudian hingga menjadi bodyguard. Hanya sedikit yang berani mengobrak-abrik praktik beking ini. Polisi super Hoegeng Imam Santosa mungkin yang paling berani.

Ceritanya tahun 1955, Kompol Hoegeng mendapat perintah pindah ke Medan. Tugas berat sudah menantinya. Penyelundupan dan perjudian sudah merajalela di kota itu.

Para bandar judi telah menyuap para polisi, tentara dan jaksa di Medan. Mereka yang sebenarnya menguasai hukum. Aparat tidak bisa berbuat apa-apa disogok uang, mobil, perabot mewah dan wanita. Mereka tak ubahnya kacung-kacung para bandar judi.

Bukan tanpa alasan kepolisian mengutus Hoegeng ke Medan. Sejak muda dia dikenal jujur, berani dan antikorupsi. Hoegeng juga haram menerima suap maupun pemberian apapun.

Maka tahun 1956, Hoegeng diangkat menjadi Kepala Direktorat Reskrim Kantor Polisi Sumut. Hoegeng pun pindah dari Surabaya ke Medan. Belum ada rumah dinas untuk Hoegeng dan keluarganya karena rumah dinas di Medan masih ditempati pejabat lama.

Cerita soal keuletan para pengusaha judi benar-benar terbukti. Baru saja Hoegeng mendarat di Pelabuhan Belawan, utusan seorang bandar judi sudah mendekatinya. Utusan itu menyampaikan selamat datang untuk Hoegeng. Tak lupa, dia juga mengatakan sudah ada mobil dan rumah untuk Hoegeng hadiah dari para pengusaha.

Hoegeng menolak dengan halus. Dia memilih tinggal di Hotel De Boer menunggu sampai rumah dinasnya tersedia.

Kira-kira dua bulan kemudian, saat rumah dinas di Jl Rivai siap ditinggali, bukan main terkejutnya Hoegeng. Rumah dinasnya sudah penuh barang-barang mewah. Mulai dari kulkas, piano, tape hingga sofa mahal. Hal yang sangat luar biasa. Tahun 1956, kulkas dan piano belum tentu ada di rumah pejabat sekelas menteri sekalipun.

Ternyata barang itu lagi-lagi hadiah dari para bandar judi. Utusan yang menemui Hoegeng di Pelabuhan Belawan datang lagi. Tapi Hoegeng malah meminta agar barang-barang mewah itu dikeluarkan dari rumahnya. Hingga waktu yang ditentukan, utusan itu juga tidak memindahkan barang-barang mewah tersebut.
Apa tindakan Hoegeng?

Dia memerintahkan polisi pembantunya dan para kuli angkut mengeluarkan barang-barang itu dari rumahnya. Diletakkan begitu saja di depan rumah. Bagi Hoegeng itu lebih baik daripada melanggar sumpah jabatan dan sumpah sebagai polisi Republik Indonesia.

Hoegeng geram mendapati para polisi, jaksa dan tentara disuap dan hanya menjadi kacung para bandar judi. “Sebuah kenyataan yang amat memalukan,” ujarnya geram.

5. Hoegeng dan pemerkosaan Sum Kuning

Sumarijem adalah seorang wanita penjual telur ayam berusia 18 tahun. Tanggal 21 September 1970, Sumarijem yang sedang menunggu bus di pinggir jalan, tiba-tiba diseret masuk ke dalam mobil oleh beberapa orang pria. Di dalam mobil, Sum diberi eter hingga tak sadarkan diri. Dia dibawa ke sebuah rumah di Klaten dan diperkosa bergiliran oleh para penculiknya.

Setelah puas menjalankan aksi biadab mereka, Sum ditinggal begitu saja di pinggir jalan. Gadis malang ini pun melapor ke polisi. Bukannya dibantu, Sum malah dijadikan tersangka dengan tuduhan membuat laporan palsu.

Dalam pengakuannya kepada wartawan, Sum mengaku disuruh mengakui cerita yang berbeda dari versi sebelumnya. Dia diancam akan disetrum jika tidak mau menurut. Sum pun disuruh membuka pakaiannya, dengan alasan polisi mencari tanda palu arit di tubuh wanita malang itu.

Karena melibatkan anak-anak pejabat yang berpengaruh, Sum malah dituding anggota Gerwani. Saat itu memang masa-masanya pemerintah Soeharto gencar menangkapi anggota PKI dan underbouw-nya, termasuk Gerwani.

Kasus Sum disidangkan di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Sidang perdana yang ganjil ini tertutup untuk wartawan. Belakangan polisi menghadirkan penjual bakso bernama Trimo. Trimo disebut sebagai pemerkosa Sum. Dalam persidangan Trimo menolak mentah-mentah.

Jaksa menuntut Sum penjara tiga bulan dan satu tahun percobaan. Tapi majelis hakim menolak tuntutan itu. Dalam putusan, Hakim Ketua Lamijah Moeljarto menyatakan Sum tak terbukti memberikan keterangan palsu. Karena itu Sum harus dibebaskan.

Dalam putusan hakim dibeberkan pula nestapa Sum selama ditahan polisi. Dianiaya, tak diberi obat saat sakit dan dipaksa mengakui berhubungan badan dengan Trimo, sang penjual bakso. Hakim juga membeberkan Trimo dianiaya saat diperiksa polisi.

Hoegeng terus memantau perkembangan kasus ini. Sehari setelah vonis bebas Sum, Hoegeng memanggil Komandan Polisi Yogyakarta AKBP Indrajoto dan Kapolda Jawa Tengah Kombes Suswono. Hoegeng lalu memerintahkan Komandan Jenderal Komando Reserse Katik Suroso mencari siapa saja yang memiliki fakta soal pemerkosaan Sum Kuning.

“Perlu diketahui bahwa kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapa pun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi kalau salah tetap kita tindak,” tegas Hoegeng.

Hoegeng membentuk tim khusus untuk menangani kasus ini. Namanya Tim Pemeriksa Sum Kuning, dibentuk Januari 1971. Kasus Sum Kuning terus membesar seperti bola salju. Sejumlah pejabat polisi dan Yogyakarta yang anaknya disebut terlibat, membantah lewat media massa.

Belakangan Presiden Soeharto sampai turun tangan menghentikan kasus Sum Kuning. Dalam pertemuan di istana, Soeharto memerintahkan kasus ini ditangani oleh Team pemeriksa Pusat Kopkamtib. Hal ini dinilai luar biasa. Kopkamtib adalah lembaga negara yang menangani masalah politik luar biasa. Masalah keamanan yang dianggap membahayakan negara. Kenapa kasus perkosaan ini sampai ditangani Kopkamtib?

Dalam kasus persidangan perkosaan Sum, polisi kemudian mengumumkan pemerkosa Sum berjumlah 10 orang. Semuanya anak orang biasa, bukan anak penggede alias pejabat negara. Para terdakwa pemerkosa Sum membantah keras melakukan pemerkosaan ini. Mereka bersumpah rela mati jika benar memerkosa.

Kapolri Hoegeng sadar. Ada kekuatan besar untuk membuat kasus ini menjadi bias.

Tanggal 2 Oktober 1971, Hoegeng dipensiunkan sebagai Kapolri. Beberapa pihak menilai Hoegeng sengaja dipensiunkan untuk menutup kasus ini.

6. Selalu berpesan polisi jangan sampai dibeli

Mantan Kapolri Jenderal Polisi Widodo Budidarmo punya kenangan soal Hoegeng. Widodo ingat betul pesan Hoegeng padanya.

“Mas Widodo jangan sampai kendor memberantas perjudian dan penyelundupan karena mereka ini orang-orang yang berbahaya. Suka menyuap. Jangan sampai polisi bisa dibeli,” tutur Widodo menirukan pesan Hoegeng semasa itu.

Widodo tahu Hoegeng tidak asal memberikan perintah. Hoegeng telah membuktikan dirinya memang tidak bisa dibeli. Sejak menjadi perwira polisi di Medan, Hoegeng terkenal karena keberanian dan kejujurannya. Dia tak sudi menerima suap sepeser pun. Barang-barang hadiah pemberian penjudi dilemparkannya keluar rumah.

“Kata-kata mutiara yang masih saya ingat dari Pak Hoegeng adalah baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik,” kenang Widodo.

Widodo bahkan menyamakan mantan atasannya dengan Elliot Ness, penegak hukum legendaris yang memerangi gembong mafia Al Capone di Chicago, Amerika Serikat. Saat itu, mafia menyuap hampir seluruh polisi, jaksa dan hakim di Chicago. Karena itu mereka bebas menjalankan aksi-aksi kriminal.

Tapi saat itu Elliot Ness dan kelompoknya yang dikenal sebagai The Untouchables atau mereka yang tak tersentuh suap, berhasil mengobrak-abrik kelompok gengster itu.

“Pak Hoegeng itu tak kenal kompromi dan selalu bekerja keras memberantas kejahatan,” jelas Widodo.

Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci.

Referensi :
1. http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/1334-simbol-keteladanan-polri
2. http://www.imigrasi.go.id/index.php/berita/berita-utama/65-6-kisah-kejujuran-polisi-hoegeng-yang-menggetarkan-hati

No comments:

Post a Comment

terima kasih atas kunjungannya bapak/ibu/om/tante/saudara/i sekalian, budayakan berkomentar yang baik.